Minggu, 25 Maret 2018

Ijen, Lelah dan Dingin yang Terbayar


Ini bab awal dari perjalanan kami kali ini. Bulan Februari 2018 tujuan Ijen, Bali, Kelimutu, Labuan Bajo, Lombok, total 14 hari perjalanan dengan bawaan ngga boleh lebih dari 10 kg per orang karena akan beberapa kali naik ATR yang bagasinya maksimal 10 kg ajah. Dengan terpaksa anak perempuan saya harus meninggalkan alat setrikanya..😊

Perjalanan ke Ijen sudah lama saya cita citakan karena denger banyak cerita dan gambar gambar yang bagus, cuma ragu ragu dan maju mundur terus, takut sama cerita medan yang cukup berat untuk saya yang gampang banget ngos ngosan kalau jalan nanjak. Tapi kok trip kali ini kayaknya bisa sekalian jalan, makanya nekat aja deh, let’s go Ijen anak anak.

Kami sekeluarga start jam 12 malam dari hotel Grand Harvest di daerah Licin, di kaki gunung Ijen. Pagi banget ya, padahal dari hotel ke Paltuding yang merupakan tempat awal pendakian cuma 30 menit naik mobil. Iya emang, karena saya tau diri.. pengen liat blue fire, tapi ngga pernah olah raga. Kata orang sih 'cuma' 3km dan normalnya naik sekitar 1,5 sampai 2 jam, tapi saya mengestimasi diri sendiri 3 jam bahkan bisa lebih..

Perhitungannya saya bakal start dari Paltuding jam 1 malam, sampai atas Ijen jam 4 lewat. Memaklumi diri bahwa kekuatan dan kecepatan saya dan anak saya berbeda jauh, saya memakai 2 guide karena 1 guide untuk anak anak saya dan 1 guide untuk saya dan bapake bocah. Boros? Emang, tapi demi menjaga kemungkinan semua angan angan gagal padahal effort untuk kesini cukup besar makanya lebih baik sedia guide sebelum liat bluefire.

Guide saya namanya p Lili dan P Hasan. Biayanya 200 ribu untuk 1 guide. Mereka komplit membawakan senter, menginformasikan untuk menyewa masker. Saya bawa masker, yang 3M. Tapi kalau mau masuk kawah masker tersebut kurang, harus pakai masker yang pakai saringan yang lebih tinggi kualitasnya. Jadilah saya sewa masker, 25 ribu per orang.

Jam 1 malam mulai mendaki setelelah membayar biaya masuk. Rombongan yang berangkat bersamaan dengan saya cukup banyak, padahal hari Senin. Antara lokal dan asing perbandingannya 50:50. Tapi kata p Lili ini masih kategori sepi karena bukan weekend. Kalo weekend rame banget.

Persiapan kostum saya adalah 4 lapis baju : longjohn, kaos panjang, down jaket dan terakhir jaket kulit kumplit dengan kupluk dan sarung tangan. Ndeso? Yo been.. kembali saya tau diri wong kena ac aja sering kedinginan.. Tapi waktu mulai jalan saya jadi agak minder.. Lha bule bule jalan ada yang cuma pake kaos selembar. Bahkan ada turis Jepang yang cuma pake legging.. alamaak, enteng bener ya… sedangkan saya harus kaya buntelan lepet gini.. Tapi memang kalau pas jalan dinginnya ngga terasa, bahkan saya agak gerah dengan baju seperti ini.

15 menit pertama masih oke, semangat 45.. 
berikutnya…? Setapak setapak, brenti.. 
30 menit berikutnya adalah berhenti setiap 5 langkah. Itu tanjakan seperti ngga abis abis. Bukan kaki yang jadi masalah tapi nafas... alamaak.... anak dan suami sudah jalan bersama P Lili didepan. Saya ditemani p Hasan yang bolak balik bilang hayoo Bu, pelan pelan nanti juga sampai..

30 menit berikutnya…? Sumpah ngga sanggup.. napas kayaknya berhenti di hidung doang ngga nyampe paru paru.. nyerah deh… Akhirnya panggil ojek khas Ijen dengan tarif ojek pulang pergi 750 ribu. Bela belain demi blue fire..

Ojek Ijen itu adalah gerobak barang yang dikasih busa untuk duduk. 1 orang menarik depan dan 1 orang dorong dibelakang saya. Saya tinggal duduk manis kedinginan sambil ngobrol sepanjang jalan sama pak ojeknya.

( ojek Ijen)

Berhubung ojek saya cukup cepat jalannya, pembagian regu diubah lagi.. anak anak saya paling depan didampingi P Lili, suami didampingi P Hasan, dan saya ngojek sampai puncak. Walaupun demikian tetap saya paling belakang sampainya karena kalau suami istirahat saya juga ikutan berhenti. Salut sama suami karena dengan masalah kesehatannya tetap bisa sampai puncak walaupun berhenti berkali kali.


Buat saya yang jarang olahraga, perjalanan ke puncak Ijen berat banget. Padahal saya termasuk orang yang suka trekking ke hutan dengan waktu dan jarak yang lumayan. Bahkan di hutan Hungayono trekking saya total 6 jam. lumayan kaan... Cuma memang medannya relatif datar. Di Ijen sumpah saya KO. Tapi ada loh guide perempuan yang juga ditinggal sama tamunya karena kalah langkah. Kata simbak guide biasanya kalau turis dari China mereka jalannya pelan, ini pas dapet tamu turis China yang staminanya prima. Makanya ketinggalan dan dia lagi duduk ngatur napas waktu disalip ojek saya. Dia diledekin sama guide lain yang juga nyalip.. Lucu juga sih, ada guide ditinggal tamunya...

Kalau turis bule sih ngga usah ditanya, bikin ngiri dan sakit hati, kok enteng bener ya jalan nanjak begitu. Wes wes wes, berkali kali turis bule nyalip ojek saya. Dan kayaknya tuh napas masih sisa banyak sampe masih bisa dipake ngobrol antar mereka dan guidenya.

Tapi ada seorang turis, kalau ngga salah dari Jepang. Seorang opa yang jalan aja sudah pakai tongkat. Pelan pelan dia jalan, dan sampai loh ke atas. Sumpah kagum banget sama napasnya.

Sampai di Gedung Bunder saya berhenti sejenak berkumpul sama anak2 yang ternyata menunggu saya. Disana ada warung untuk kopi dan camilan serta mie instan dan telor rebus. Setelah minum dan istirahat sejenak, mereka jalan duluan karena memang tujuannya adalah turun ke kawah melihat blue fire dari dekat. Ngga seperti saya yang targetnya adalah liat blue fire, ga masalah liatnya dari jauh juga.. pokoke liat blue fire, wong satu satunya kawah blue fire di dunia kok yo ..

Gedung bunder ini tempat terakhir yang  menjual makanan dan minuman. Jadi kalau ada perbekalan yang kurang, disini kesempatan terakhir memenuhinya. Di dekat sini ada tempat dimana kita bisa melihat kota Banyuwangi dan lampu lampunya waktu mendaki. Sedangkan waktu turun nanti kita bisa melihat Banyuwangi dan Bali sekaligus. Cuma lupa tempatnya, yang jelas di jalur perjalanan itu. Jarak dari Gedung Bunder ke pinggir kawah sekitar 1 km, dengan tanjakan yang mendingan daripada tadi. Tetapi teteeup, bukan level saya..


(tempat parkir ojek Ijen)

Diatas sampai tempat parkir ojek, suami dan P Hasan sudah menunggu, karena lokasi kawah masih harus ditempuh dengan jalan kaki. Ngga jauh sih, sekitar 5 menit dan jalan datar. Kalau datar sih oke deh, masih bisa dijalani. Cuaca masih gelap,yang kelihatan cuma asap putih dari kawah. Kalau angin bertiup dan arahnya cocok maka kelihatan cahaya kebiru biruan nun jauh dibawah sana.. That’s blue fire, horeeee…. akhirnya saya bisa melihat blue fire.. walaupun dari pinggir kawah makanya bluefire kelihatan setitik kaya nyala korek boneka saking kecilnya. Bluefire yang ternyata satu satunya di dunia yang bisa dilihat setiap hari ( http://tourbanyuwangi.com/meluruskan-informasi-yang-salah-tentang-blue-fire-ijen-banyuwangi/ ), dengan catatan cuaca mendukung yaa..
Jadi blue fire ada juga di Iceland itu hoax. Ada satu lagi di Dallol Ethiopia, tapi itu jarang terjadi. Kereeen negriku..



(didekat blue fire) 

 
Anak2 sudah tidak kelihatan diatas, rupanya mereka langsung turun ke kawah. Mengejar waktu karena blue fire paling bisa dilihat sampai pk 4.30. Saya nunggu aja diatas, cari perlindungan batu karena anginnya kencang dan dingiiin.. buju buneng, sumpah itu dingin ngga becanda deh… bersyukur saya naik dengan perlengkapan lengkap, walaupun tampilan bulet bunder begini. Bahkan maskernya saya pakai, bukan karena asap, tapi lebih untuk melindungi muka yang rasanya seperti beku. Makin berangin makin dahsyat rasa dinginnya. Ngga ngeliat tu bule yang cuma pake kaos dan celana pendek, apa kabarnya ya?

Dan ini bahkan bukan musim terdingin Ijen karena masih masuk musim hujan. Cuaca terdingin adalah di musim kemarau, kira kira bulan Juli Agustus menurut cerita pak Lili. Jadi kalau mau naik pas bulan tersebut, persiapannya harus lebih matang lagi. Lha wong kategori ngga terlalu dingin ini aja sudah bikin saya pake baju lapis lapis kaya lemper atau bahkan lontong..

Saya beruntung karena saat itu langit clear tanpa awan, jadi bintang diatas kelihatan jelas berikut milky waynya. Perasaan sih bintang kelihatan lebih dekat,  apa cuma perasaan saya aja saking semangatnya ya.. Sayang kamera saya ngga mampu merekam (atau saya yang ga tau cara makainya, hehehe). Pokoke indah seindah indahnya deh.. Pak Lili juga bilang saya beruntung karena pagi sebelumnya sempat hujan, dan pengunjung banyak banget karena  pas hari libur. Suasananya beda dengan sekarang, karena berawan.

Sempat jalan jalan disekitar situ, ada toilet dan saung untuk istirahat bagi yang hendak menunggu sinar matahari. Di Februari disana tidak ada sunrise karena arah matahari timbul pas dari balik gunung. 

Saya sempat ngobrol sama bapak penjaga toilet. Toilet disini jauh lebih bersih daripada di Paltuding tadi walaupun bangunan toilet ini sempat menjadi perdebatan karena bangunannya dianggap tidak sesuai dengan lanskap alam disana. Pesan untuk yang ke toilet, please jangan lupa membayar. Karena air disana diambil dari gedung bunder, 1 km dari sana dan menanjak. Tolong hargai bapak pengelola disana yang sudah susah payah membawa air sehingga kita dapat memakainya. 

Dari pinggir kawah pilihannya ada 2, turun ke kawah atau naik ke puncak Ijen. Kalau ke kawah bisa lihat blue fire dan mendekati kawahnya, sedangkan ke puncak bisa lihat seluruh kawah. Sebab dari posisi pinggir kawah seperti saya cuma bisa lihat sebagian dari kawahnya. Kalau saya sih milih duduk menunggu terang sambil ngobrol sama sesama tamu dan pengangkut belerang di pinggir kawah.

Jam 4.30 saya sempat sholat subuh di saung sebelah toilet. Tapi saya tayammum aja, ga kuat dinginnya.. airnya beneran kaya es batu baru mencair, ditambah kena angin gunung. welaah, tobaat deh.

Setelah subuh baru mulai terang… dan disitu baru kelihatan… taraaa… jreng jreng… 
whoaaa,
keren,
cakeeep,
spektakuler,
sebut aja segala kata sifat yang menggambarkan bagus deh. Pokoknya luar biasa.. segala sudut pandang semuanya bercerita tentang keindahan dan keagungan alam.. 

Ada kawah yang berair biru dan luas, ada sumber belerang yang asapnya kebul kebul, ada puncak Merapi, ada jurang, ada semburat sinar matahari, semuanya menyatu dengan serasi.
 


Cukup banyak orang dipinggir kawah yang tidak turun atau naik ke puncak. Mungkin mereka kaya saya yang punya napas pas pas an.. kebanyakan sibuk berfoto dengan segala gayanya, tapi ada juga yang cuma duduk menikmati keindahan. 
 




Saya kembali ke pinggir kawah dan melihat sumber asap yang merupakan sumber belerang jauh dibawah sana. Orang orang dibawah kelihatan kecil kaya titik.. penambang belerang sudah mulai lalu lalang naik. Dan sepertinya asik aja mereka naik sambil bawa beban berat begitu.
 
(pemandangan dari pinggir kawah)

Buat yang mau turun ke kawah, perlu diketahui bahwa jalanan di kawah adalah jalan para penambang. Jadi ketika mereka lewat, pengunjung seperti kita harus mengalah. Selain karena emang kita tamu kudu ngalah sama tuan rumah, secara kemanusiaan emang udah seharusnya kita yang bawa bodi doang dan buat seneng seneng ngalah sama mereka yang bawa beban berat demi mencari nafkah.

Dan akhirnya saya bertemu bule bule yang tadi pakai kaos sama celana pendek.. Ternyata mereka sudah memakai jacket, tapi jaket yang wind breaker doang alias cuma selembar tipiiis.. dan masih bercelana pendek. Tapi emang ngga kelihatan kalo mereka kedinginan, biasa aja jalan kesana kesini. wuiih, udah biasa ya kang..?

Sekitar 2 jam saya menunggu anak anak naik dari kawah, baru kita kembali turun ke Paltuding. Anak perempuan saya walaupun sempat pucat pasi kehabisan napas waktu naik dari kawah tetap sibuk bercerita tentang keindahan dibawah sana. Bahkan dia bilang waktu hari masih gelap dan bintang masih kelihatan rasanya seperti dalam mangkuk dan ditutupi bintang dan milky way. Agak menyesal juga sih kenapa tadi ngga maksa diri turun, tapi ya sudahlah, mudah mudahan lain kali ada kesempatan lagi. Kudu latihan doloo…
 

Pulangnya saya mencoba jalan kaki. Jalanannya enak dan pas kondisi tidak licin. Walaupun ojek sudah disewa untuk pp tapi biarlah. Mereka menemani saya jalan turun, sedangkan anak dan suami sudah jalan terlebih dahulu bersama pak Lili dan pak Hasan. Kayaknya gimana ya sekeluarga jalannya pisah pisah. Itu karena memang kondisi fisik kami berbeda, dan trek yang dilalui lumayan berat. Anak dan suami kalau mengikuti saya kasihan karena mereka harus bolak balik ngerem. Sedangkan saya mengikuti mereka akan kepunthal punthal.. Kalau trekking hutan biasa, kami ngga pernah pisah seperti ini. Bahkan mereka biasanya antre dibelakang saya karena speed saya yang paling rendah.

Jadilah saya bikin grup sendiri dengan pak ojek, jalan sambil menikmati pemandangan yang waktu naik tadi ngga kelihatan karena masih gelap. Ada gunung Raung, gunung Merapi dan beberapa gunung yang ditunjukkan oleh pak Ojek. Juga Banyuwangi dan Bali Barat. 

 

 

Dan ketika perjalanan turun inilah saya baru ngeh ternyata yang saya lalui pagi pagi buta tadi mlipir gunung yang sebelahnya jurang. Bahkan ada area dimana kanan kirinya jurang menganga. Terutama di jalur setelah Gedung Bunder. Mungkin itulah kenapa disarankan kalau naik ke Ijen memakai guide walaupun sepertinya mudah karena jalurnya sudah jelas.

 
Jam 8 kurang saya sudah sampai di Paltuding lagi ditunggu oleh anak anak dan suami. Berpisah dengan Pak Ojek, Pak Lili dan Pak Hasan yang baik banget ngejaga keluarga saya. Bahkan anak perempuan saya bilang pak Lili udah kaya bapaknya sendiri, saking ngemongnya waktu dia patah semangat buat naik. Di dalam kawah juga p Lili menunjukkan lokasi mana aja yang bagus. Di pertengahan jalan naik dari kawah anak saya digandeng sambil terus disemangati.. Pak Hasan juga sabar banget ngikutin suami saya yang waktu naik harus bolak balik berhenti. Juga Pak Ojek yang menemani saya ngobrol dan bercanda sepanjang jalan. Pokoknya terima kasih banyak bapak bapak… sampai akhirnya kami bisa menikmati puncak Ijen.

Saran aja :
Kalau mau lihat blue fire berangkat harus pagi pagi sekali dan siapkan masker yang baik karena asap dan bau belerang cukup tajam. Kalau tidak masuk ke kawah bau belerang masih dapat diatasi tanpa masker. Di Paltuding banyak sewa masker, diatas pun ada yang menawarkan.

Pakailah jasa guide yang merupakan asli penduduk Ijen, karena guide disana sudah sangat mengetahui kondisi medan. Ini kontak P Lili 085337773292, P Hasan 082334665108, guide Ijen yang recommended banget..

Pakailah baju yang sesuai, karena diatas sangat berangin dan dingin. Bukan saya aja yang kedinginan, Bapak bapak yang orang asli sana aja pakai jaket. Bahkan guide saya pakai jas hujan karena ternyata jas hujan plastik itu menahan angin supaya tidak masuk ke tubuh.

Bawa minum dan makanan yang berenergi secukupnya. Jangan lupa sampahnya bawa turun lagi yaa karena sempat saya melihat sampah botol mineral disana.

Bawalah senter setiap orang supaya tidak perlu bergantian karena jalannya gelap dan cukup berbahaya karena banyak menyusuri jurang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mendampingi Kateter Jantung

Pengalaman mendampingi penderita penyempitan jantung dikeluarga saya sudah cukup lama. Sehingga akhirnya saya familiar dengan istilah kate...